Minggu, 20 Desember 2009

BUNUH DIRI ITU MENULAR

Media dan Perilaku Meniru

Kendati peniruan bunuh diri ( copycat suicide ) lebih tepat dipakai untuk mengistilahkan bunuh diri yang menjalar diantara kelompok teman, namun tak terlalu berbeda dengan perilaku bunuh diri yang ditularkan lewat berbagai bentuk media. Umumnya lantaran paparan yang begitu menonjol, kejadiannya dramatis, sensasional, dan disiarkan terus menerus oleh media.

Begitu banyak bukti bahwa media mempunyai andil besar terhadap perilaku bunuh diri. Umumnya remaja dan dewasa muda yang muda yang mempunyai faktor risikolah yang banyak mengimitasi perilaku bunuh diri dengan mungut metode yang sama. Kebetulan cara melompat dari gedung yang tinggi menjadi semacam tren akhir-akhir ini, baik dipusat perbelanjaan, gedung apartemen jangkung yang mulai menjamur, menara tinggi, maupun sejenisnya.

Masuk akal, apalagidi kota besar, terutama Jakarta, yang tengah berlomba membangun gedung-gedung tinggi, cara mengakhiri hidup semacam itu akan menjadi masalah, sebagaimana Hongkong yang saat ini sudah mulai berpikir untuk mengembangkan sistem pengamanan lewat arsitektur bangunan yang tak mengundang orang untuk mengakhiri penderitaan mereka ditempat tersebut. Hal itu termasuk bagaimana mengamankan jembatan-jembatan yang menjadi ikon kota.

Mungkinkah pengelola gedung ( termasuk yang memberikan izin mendirikan gedung ) di Indonesia mulai berpikir dan bertindak seperti itu? Hal ini tak boleh dianggap sepele bila tak ingin melihat korban berjatuhan kembali. Semua komponen masyarakat ikut bertanggung jawab. Termasuk media massa, terutama dalam pemberitaan yang berpotensi ditiru masyarakat. Misalnya mengenai peristiwa bunuh diri, seyogianya media memberitakan secara lebih bertanggung jawab, akurat, dan lebih sensitive memegang etika reportase. Diharapkan media menghindari cara pemberitaan yang sensasional, terlalu didramatisasi, menghindari pelaporan secara detail, apalagi lokasi tempat dan cara kematian secara eksplisit.

Hal penting lain, tidak melakukan penyederhanaan penyebat masalah karena bisa menafikan kausa kompleks bunuh diri yang sebenarnya lebih penting. Kerap berbagai reportase menyebutkan penyebab bunuh diri karena faktor tunggal, misalnya karena impitan ekonomi atau masalah dengan pasangan. Akibatnya, kelompok orang yang sedang mengalami “nasib” buruk serupa dan sudah terlintas ide untuk mati, seakan diberikan justifikasi untuk hal yang sama. Lebih-lebih bila ada “model” yang bisa di tiru, atau Celebrity Suicide, seperti yang terjadi diberbagai penjuru dunia.

Saat ini di beberapa Negara sedang gencar terjalin kerja sama antara media massa dan institusi terkait untuk membuat semacam media guidelines dalam pemberitaan bunuh diri . ini membawa hasil yang menggembirakan, terutama menghindari terjadinya copycat.

Kesehatan Mental

Tindakan bunuh diri bukanlah sesederhana yang sering dibicarakan selama ini. Begitu berliku lorong suram yang memberi gurat cerita nestapa tersebut. Sebuah interaksi rumit yang terjalin antara faktor biologik, genetik, psikologik, sosiobudaya, ekonomi, masalah interpersonal, kepribadian, dan masalah psikiatrik. Bukan karena faktor tunggal. Perilaku bunuh diri ini menunjukkan salah satu indicator tingkat kesehatan mental yang buruk di masyarakat.

Sembilan puluh persen perilaku bunuh diri memang berkaitan erat dengan masalah kesehatan mental dan kedaruratan medik. Ketika faktor mendasar tak diatasi, tak ayal jumlah kasus bunuh diri akan terus melambung karena faktor pemicunya kian menyeruak, membuat kehidupan seakan tersedak.

Media diharapkan lebih terlibat dan memberikan informasi akan tersedianya sarana bantuan bagi orang-orang yang sedang kalah ini. Sudah saatnya pula masyarakat mulai bergerak menyediakan sarana bantuan bagi sekelompok orang yang seakan terperangkap dalam labirin suram. Jangan biarkan mereka merasa tak ada harapan. Kita bisa mengulurkan tangan untuk sekedar menampung kegundahan mereka, bukan menyalahkan, tetapi memberikan dukungan.

Sebagian besar dari mereka terbukti mengurungkan niat bunuh dirinya ketika ada akses seseorang yang empatik, mau memahami, mendengarkan, dan memberikan dukungan yang bisa mengenyahkan noktah keputusan. Bahwa penderitaan tak layak diselesaikan lewat jalan pintas.

Patut diingat, yang meninggal hanyalah sebagian kecil dari perilaku bunuh diri yang diberitakan. Yang baru berniat atau tidak fatal tentu jauh berlipat kali jumlahnya. Inilah fenomena gunung es taraf kesehatan mental yang memburuk. Seakan menjadi silent killer yang tak terendus sehingga kita alpa mengantisipasi.

Lembaga nirlaba semacam samarintans atau papyrus yang sudah berdiri di berbagai belahan dunia mungkin bisa dipungut sebagai bahan inspirasi dengan beberapa modifikasi lokal. Lembaga yang bisa menjadi sumber informasi lengkap dan memberikan udara segar bagi orang-orang yang membutuhkan tempat bersandar. Memberikan secercah lentera bagi orang-orang yang sedang melihat penderitaan tanpa harapan. Bahwa ada hikmah dibalik musibah.

Sumber :

Nalini Muhdi ( kompas hari sabtu, bulan desember 2009 )

1 komentar: