Kamis, 31 Maret 2011

Kepadatan dan Kesesakkan Tempat Tinggal




A. Pengertian Kepadatan

Kepadatan atau density ini ternyata mendapat perhatian yang serius dari ahli-ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono,1992).

Kepadatan mencakup banyak dimensi. Kepadatan tidak hanya mencakup dimensi fisik seperti ukuran jumlah penduduk per wilayah atau jumlah orang per rumah (kepadatan hunian dan kepadatan rumah) akan tetapi juga mengandung aspek sosial, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kepadatan perlu memperhatikan aspek lain di luar aspek fisik. Berbagai aspek tersebut terutama yang menguntungkan kehidupan penduduk perlu dipertahankan sehingga kebiasaan dan perilaku yang positif tetap dapat dipertahankan.

Di tinjau dari segi penduduk, terungkap bahwa rumah padat bagi penduduk berarti rumah yang luasnya tidak sebanding dengan jumlah penghuninya, serta tidak ada tempat bermain atau halaman. Kriteria ini sesuai dengan kriteria yang dianut para ahli, akan tetapi ukuran lain seperti jumlah orang yang tidur dalam satu kamar, jumlah ruangan dalam kamar, jumlah WC per orang/rumah, jumlah anak balita per tempat tidur, dan lain-lain ukuran yang berkaitan dengan jumlah fasilitas perumahan dengan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai ukuran kepadatan oleh penduduk. Oleh karenanya, penyuluhan tentang hal ini perlu ditingkatkan tidak hanya oleh Dinas Kesehatan tetapi juga Dinas Perumahan dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan jumlah fasilitas perumahan dan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai ukuran kepadatan (Surjadi et al., 1996).

B. Kepadatan Tempat Tinggal

Kepadatan tempat tinggal, bagaimanapun juga pengaruh dari tempat tinggal yang terbatas bisa bermacam-macam. Salah satu dramatis terdapat dari studi kasus tentang para sukarelawan Korps Perdamaian (MacDonald & Oden dalam Sears dkk., 1992). Dalam Penelitian ini lima pasangan pernikahan bersedia dengan sukarela membagi ruang tanpa sekat sebesar 30 kali 30 kaki selama dua belas minggu program latihan.Para sukarelawan bersedia mengalami hal ini dalam upaya memperoleh pemahaman tentang kesulitan yang mungkin suatu saat nanti akan mereka hadapi di perantauan. Mereka dibandingkan dengan pasangan Korps Perdamaian lain yang tinggal di kamar hotel yang lebih luas.

Meskipun kondisi tempat tinggal mereka sangat padat, pasangan yang tinggal bersama tidak menunjukkan adanya pengaruh yang merugikan dan menganggap pengalaman mereka sebagai suatu tantangan yang positif. Rupanya mereka mengembangkan semangat juang yang tinggi dan suasana kerjasama. Jelas, mereka yang menjadi sukarelawan untuk tinggal bersama memiliki kepribadian yang berbeda dengan mereka yang bukan sukarelawan, dan mereka tahu bahwa situasi tersebut hanya bersifat sementara. Namun, kesimpulan dari contoh ini adalah bahwa tinggal ditempat yang berkepadatan tinggi bisa menjadi pengalaman yang positif dalam situasi tertentu.

Penelitian yang dilakukan terhadpa penghuni penjara juga memberikan bukti tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Tahanan yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan tahanan yang tinggal di dalam sel bertipe asrama. Penelitian yang didasarkan pada data-data arsip juga menunjukkan adanya kaitan antara tingkat kepadatan tempat tinggal yang tinggi dipenjara dan tingkat kematian dan masalah psikiatrik yang lebih tinggi (McCain dkk. Dalam Sears dkk.,1992).

Dalam mengulas berbagai macam penemuan ini, Epstein (dalam Sears dkk.,1992) menyatakan bahwa pengaruh negative dari kepadatan tempat tinggal tidak akan terjadi bila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat kendali tertentu. Tampaknya keluarga tidak banyak mengalami kesesakkan rumah, mungkin karena mereka mampu mengendalikan rumah mereka dan mempunyai interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal berkepadatan tinggi, sebaliknya, tahanan yang kurang mampu mengendalikan lingkungan dan hanya memiliki sedikit motivasi untuk bekerja.

Proporsi luas tanah untuk rumah tempat tinggal penduduk kota yang semakin sempit menyebabkan kepadatan yang tinggi dan ruang untuk keperluan-keperluan individu dan kelompok juga semakin menyempit. Menurut Holahan (1982), kepadatan (density) adalah sejumlah individu pada setiap ruang atau wilayah. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam dan kepadatan luar. Kepadatan dalam berarti jumlah manusia dalam suatu ruangan, sedangkan kepadatan luar berarti jumlah orang atau pemukiman di suatu wilayah. Dalam hubungannya dengan kondisi psikologis penghunian rumah, kiranya apa yang dikatakan oleh Holahan dan definisi kepadatan dalam dari Altman lebih bisa diterapkan, dimana dalam setiap unit rumah dihuni oleh sejumlah orang.

C. Pengertian Kesesakkan

Selain masalah kepadatan, ciri kedua dari pemukiman kota adalah kesesakan. Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996) Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi bukan satu satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan.

Setidaknya ada tiga konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka mulailah timbul masalah-masalah psikologis.

Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993). Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981).

Bentuk aktifitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).

D. Kesesakkan Tempat Tinggal

Kesesakkan sebagai suatu fenomena psikologis yang mempunyai sifat hubungan yang tidak langsung Harold Prohansky (dalam Holahan, 1982). Situasi kesesakkan merupakan perasaan bahwa kehadiran orang lain menyebabkan frustasi dalam usaha mencapai tujuan. Kesesakkan terjadi ketika sejumlah orang dalan suatu setting membatasi kebebasan individu untuk memilih. Oleh karena itu yang paling penting adalah interpretasi kognitif yang mengontrol perilaku terhadap suatu peristiwa kesesakkan.

Menurut Fisher, Bell dan Baum (1984), kesesakkan adalah perasaan kehilangan kontrol, Psychological reactance , dan Learned helpness. Dalam kondisi kesesakkan yang dialami pertama kali adalah perasaan kehilangan kontrol terhadap lingkungan yang merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan. Ketika kebebasan memilih dibatasi, orang akan mencoba memecahkan masalah situasi tersebut, muncullah angka kedua yaitu Psychological reactance yang merupakan suatu keadaan motivasional dalam mengatasi perasaan kehilangan kontol dan berusaha mendapatkan kembali kebebasan perilaku yang terancam tersebut (Holahan, 1982). Apabila ini tidak berhasil maka akan muncul langkah ketiga yaitu Learned helpness atau ketidakberdayaan yang di pelajari (Fisher, Bell, dan Baum, 1984).

Kesesakan pada tempat tinggal mucul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak negara (misalnya : Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan sosial yang nyata dalam perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destruktif.

Hambatan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara berkembang umumnya karena adanya pola berpikir masyarakat yang konservatif, yang pada hakekatnya menolak perubahan nilai tradisional dan budaya Indonesia termasuk dalam masyarakat heterogen yang sifatmya tradisional dan religius, misalnya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki atau pola berpikir bahwa anak adalah investasi bagi orang tuanya di masa depan.

Pola berpikir dan sikap seperti itu merupakan hambatan, khususnya bagi penduduk yang sebagaian besar tinggal di pedesaan, dimana nilai budaya tradisional tumbuh subur. Contoh lain, untuk mencapai pemerataan penduduk dalam mencapai keseimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan transmigrasi dari pulau yang padat penduduk ke Pulau yang konsentrasi penduduknya rendah. Usaha itu tidak dapat menghindari perubahan nilai-nilai tradisional, sebab masih ada yang beranggapan bahwa tanah kelahiran adalah warisan leluhur yang tak boleh ditinggalkan. Timbullah istilah transmigrasi bedol desa yang mengangkut seluruh harta miliknya berikut sedikit tanah kelahirannya.

E. Contoh Kasus Kepadatan dan Kesesakkan Tempat Tinggal dan solusinya.

Di DKI Jakarta, tersedia jaringan jalan raya dan jalan tol yang melayani seluruh kota. Namun perkembangan jumlah kendaraan dengan jumlah jalan sangat tidak seimbang (5 10% dengan 4-5%). Menurut data daripada Perkhidmatam Perhubungan DKI, sebanyak 46 kawasan mempunyai 100 simpang yang mempunyai kesesakan lalulintas, arus yang tidak stabil dan kecepatan yang rendah.

Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 simpang yang memiliki kemacetan lalulintas yang diakibatkan oleh kepadatan dan kesesakkan penduduk , arus yang tidak stabil dan kecepatan yang rendah.

Diantaranya Tempat tinggal yang mengalami kemacetan ialah:

  • Kawasan Ancol/Gunung Sahari Kawasan Ancol / Gunung Sahari
  • Kawasan Jatibaru/Tanah Abang Kawasan Jatibaru / Tanah Abang
  • Kawasan Kalimalang Kawasan Kalimalang
  • Kawasan Mampang/Buncit Kawasan Mampang / Buncit
  • Kawasan Pasar Minggu Kawasan Pasar Minggu
  • Kawasan Pondok Indah Kawasan Pondok Indah
  • Kawasan Pulo Gadung Kawasan Pulo Gadung
  • Kawasan Tambora. Kawasan Tambora.

Jakarta sebagai pusat ekonomi juga turut mengalami kesesakan lalu lintas kerana selain dilalui oleh penduduk DKI sendiri , jalan ini juga digunakan oleh pemandu daripada kota sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Jakarta sebagai pusat ekonomi juga turut mengalami kemacetan karena selain dilalui oleh penduduk DKI sendiri, jalan ini juga digunakan oleh pemandu dari kota sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Kesesakan dapat dilihat di Sudirman kerana mengambil masa selama berjam-jam untuk pulang ke rumah. Kemacetan dapat dilihat di Sudirman karena memakan waktu berjam-jam untuk pulang ke rumah. Satu insisiatif dilakukan oleh Pemerintah DKI untuk mengatasi masalah pengangkutan di Jakarta yaitu TransJakarta. Pemda dilakukan oleh Pemerintah DKI untuk mengatasi masalah transportasi di Jakarta yaitu Transjakarta.